Diberdayakan oleh Blogger.

Blognya Zuha

Dunia Gado-gado Digital


Dan pada suatu pagi yang dingin,

Ketika hujan semalam belum juga reda
Air di loteng yang terus turun dengan suara yang khas
Tetapi, kamu…
Masih dengan perihal kisah yang sama, pun untuk orang yang sama padahal ia telah berbalik arah membelakangimu
Meninggalkan ucapan yang memikat dan membuat hatimu pecah berkeping-keping.

Posted!

Aku pun segera menutup laman editing blog pribadiku. Kantukku mulai datang, waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Lalu aku mulai membereskan meja tempatku berkutat bersama laptop dan secangkir teh tarik yang sudah mulai habis. Hujan diluar sana belum juga reda. Padahal sejak pukul empat sore sudah mulai rintik dan gerimis. Ternyata hujan bisa seawet itu, pikirku. Membuatku malas untuk beranjak dari kamar kosan dan memilih bercengkerama dengan laptopku dan menjelajahi dunia maya sepuasnya.

Tiba-tiba sebuah pesan masuk dan membuatku buru-buru untuk menonaktifkan data seluler dan menghidupka mode pesawat. Lalu segera membersihkan diri sebagai ritual sebelum tidur.

Dengan sedikit terkejut dan merasa tak nyaman,

Seseorang itu hadir kembali. Menyapaku diwaktu yang hampir larut.

Hai, apa kabar? Aku sedang liburan di rumah. Bisa ketemu besok? Selamat istirahat. Maaf mengabarimu selarut ini ðŸ™‚

Read 22:30

Semoga besok aku bisa mengelola jantung yang terus berdebar ini. Meski tidur yang kupaksakan, karena terpikir sesuatu tentangnya. Nyatanya, aku pun terlelap. Tadi aku tidak tidur siang hhh. 

Benar saja, aku merindukannya. Hanya sekadar kerinduan pada umumnya namun tak ingin kembali.

Menemukannya di dalam buaian tidurku yang begitu lelap.

Selamat malam, esok.

Share
Tweet
Pin
Share
No comments


Nata mengaduk es teh tarik kesukaannya di kantin sembari memperhatikan segala gerak gerik manusia yang hilir mudik untuk memenuhi hasrat perut maupun dahaga. Ada yang mengantre untuk memesan makanan maupun minuman, ada pula yang duduk bersama rombongan gengnya sekedar diskusi atau bergosip dengan topik yang sedang hangat dan menjadi tema perbincangan di meja kantin, atau si mbak dan si mas yang sibuk mengantarkan pesanan para mahasiswa atau pembeli yang jajan di kantin ini.

Pikiran Nata kacau, hatinya tak tenang. Perihal hati memang selalu membuat manusia menjadi bingung mengenai diri sendiri. Apalagi ini menyangkut perasaan orang yang ternyata  dia masih milik orangtuanya. Tak ada hak baginya untuk menyakiti orang lain, apalagi jika sudah menjadi miliknya nanti, berakibat fatal dan ia tak menginginkannya terjadi dalam kisah cintanya. Sebenarnya ia tampan dan cerdas. Belum lagi banyak perempuan yang mengajukan proposal ta’aruf untuk menjadi pendamping hidupnya. Sayangnya, perasaan yang selama ini ia simpan tetap sama dan tak berubah sedikit pun. Hanya perihal waktu yang baginya selalu belum tepat sehingga ia selalu mengulur dan terus mendiamkannya.

Nata tidak sendiri, ia bersama Jasmine –teman dekatnya– yang kebetulan dulu juga satu jurusan dan sekelas hingga kini mereka bekerja di satu tempat yang sama. Membahas beberapa hal yang berkaitan dengan pekerjaan mereka atau berbincang mengenai sesuatu yang sedang viral di dunia maya saat ini. Ia merasa nyaman ketika bersama Jasmine, karena menurutnya perempuan yang telah ia anggap sebagai sahabatnya selalu nyambung ketikaa diajak berdiskusi dan berbicara mengenai hobi mereka masing-masing.

Dua puluh menit telah berlalu dan es teh tariknya sudah mulai hambar menyisakan es batu yang mencair. Mereka berdua segera beranjak untuk membayar dan segera memulai pekerjaannya kembali.

“Nata, Aku gak tega kalau kamu diam tanpa berterus terang.” Ujar Jasmine ketika selesai membayar makanannya

Nata menghentikan langkahnya, pertanyaan Jasmine seakan membuatnya bersalah. Sebenarnya Jasmine sudah ingin menanyakan hal ini sejak lama. Namun, bagi Jasmine waktu tak pernah tepat untuk membicarakan perihal ini. Ia tak ingin mengganggu pikiran Nata namun juga ia tak ingin membiarkan perasaan orang lain sia-sia saja.


sumber : www.freepik.com

“Aku gak sanggup kalau harus bilang ke Nadine, Min.”

“Kalau kamu gak sanggup, harusnya kamu dari dulu tegas, Nat.”

“Aku tau, tapi belum sanggup kalau sekarang.”

“Okay, kemarin kamu bilang kalau Nadine terlalu lembut untuk ditegasin. Tapi, semakin kamu kayak gini, gak ada penjelasan justru kamu menyakitinya secara perlahan. Inget ya Nat, minggu depan dia udah mau balik ke daerahnya. Tentunya dia gak bakal kesini lagi kalau gak penting-penting amat. Jangan sampai menyesal.”

Jasmine meninggalkan Nata yang perlahan memahami kalimatnya. Nata hanya bisa menghembuskan napas dengan berat. Ia tak rela namun juga tak berani. Nyalinya terlalu kecil, tak seperti perawakannya yang tampak gagah dan tegas. Sayangnya, perihal hati ia lemah. Bahkan tak berani untuk jujur dengan perasaannya sendiri.

Nata berjalan menuju ruangannya. Kalimat Jasmine masih terngiang di telinganya padahal suasana sekitar kampus masih ramai, bahkan banyak mahasiswa yang suaranya seperti laron terbang namun perkataan Jasmine lebih menguasai.

“Pak. Permisi, saya mau memberikan ini.”

Seorang gadis dengan rambut hitam sebahu berwajah ayu  mengenakan kacamata berbingkai hitam memecahkan lamunan Nata.

“Nadine? Ada apa?” ucapnya sedikit terkejut

“Ini ada surat pengunduran diri saya menjadi asisten Bapak. Saya ingin pamit pulang ke daerah saya dan memulai pekerjaan baru saya disana.”

“Kamu yakin mau resign dari sini dan gak jadi asisten dosen lagi?” tanya Nata sedikit gemetar, bibirnya mulai kering dan lidahnya kelu untuk bertanya padahal ini hanya hal biasa saja.

“Iya pak. Saya sudah memikirkannya secara matang. Kalau begitu, saya permisi pak.”

Ucap Nadine sembari berjalan keluar ruangan Nata

“Nadine, kamu pergi dengan saya saja ya. Saya ikut mengantarmu pulang.”

Nadine menaikkan alisnya, sedikit terkejut dan heran.

“Maksudnya pak? Bapak mau penelitian di kampung saya ya?” muka polosnya membuat Nata gemas

“Saya mau bertamu ke rumahmu, dengan niat baik dan membawa orangtua saya.” Jawab Nata sambil beranjak dari kursinya.

Nadine terperanjat, Nata berusaha tersenyum meskipun belum tahu apakah permintaannya diterima atau tidak. Kalimat yang keluar dari bibirnya tampak ada yang salah.

“Mengantarkannya pulang dan membawa orang tuanya, Oh tidak… Nata, bego banget sih” Gumam Nata sambil memejamkan mata penuh penyesalan namun lega

“Saya pulang karena saya ingin mempersiapkan acara pernikahan saya bulan depan, Pak.” Ucap Nadine sembari tersenyum ia lalu permisi untuk segera pergi dari ruangan Nata untuk terakhir kalinya.

Duar…..

Bagai ada petir di siang bolong. Dunia Nata seakan berhenti dan jarum jam seperti tak ingin berputar kembali. Lututnya seakan tak ada tulang yang menopang dan hatinya seperti pecah berkeping-keping. Impiannya hidup bersama pujaan hati yang selama lima tahun ia menyimpan perasaan suci itu kini lenyap dan pupus sudah harapannya selama ini. Benar kata Jasmine, harusnya sejak dulu dia berterus terang dengan adik tingkatnya sendiri yang selama dua tahun menjadi asistennya.

“Semoga lancar ya, Nadin.” Gumam Nata dengan suara lirih

Share
Tweet
Pin
Share
No comments

sumber : pinterest

“Aku berbicara pada ayam” Ujarmu, setiap hari

Nyaris, waktu kita bunuh dengan candaan konyol. Detik, menit, hingga jam kau berbicara. Aku tak pernah bosan.

“Aneh,” ujarku

“Aku berbicara dengan bidadari”

Kali ini, aku sedikit heran–

“Emang, kau pernah melihatnya?” Jawabku sedikit mulai sebal

“Tentu,”

Aku mendelik tak percaya, teko berisi teh panas itu sudah mulai tidak seimbang di genggamanku,

“Dimana?” Tanyaku,

Ingin tahu, tiba-tiba suasana hening sejenak,

“Di depanku saat ini.”

Dia tersenyum, aku memalingkan wajah. Hatiku berdesir cepat, persis seperti awal pertama kali jumpa.

“Suami yang aneh”

Gumamku dengan jantung yang berdebar

Share
Tweet
Pin
Share
No comments

sumber : pinterest

“Ibu kan udah berapa kali bilang sama kamu, Rum. Jangan suka gantungin perasaan orang. Akhirnya kan gini. Dendi malah melamar temen kamu sendiri. Kamu tahu Dendi dan kamu teman kecil dari dulu.”

“Hehe, udahlah bu. Arum pernah bilang, bahwa Arum gak pernah gantungin perasaan anak orang. Arum baik-baik saja kok. Nih lihat buktinya, makanan Arum abis lho.”

Arum memang seperti itu, selalu berpura-pura tidak merespon kalimat ibunya yang harusnya nyambung gitu ketika membahas tentang Dendi. Apalagi barusan, undangan walimatul ursy Dendi dan Wulan tergeletak manis di atas meja makan ia malah bahas tentang makan malamnya yang sudah tak tersisa di piring.

“Kamu memang baik-baik aja, Nak. Tapi hati kamu yang Ibu khawatirkan.” Kata wanita yang Arum sebut sebagai Ibu itu sembari menutup meja dengan tudung nasi.

Arum menghentikan pekerjaannya yang sedang mencuci piring, ia memang tampak ceria. Bahkan tak sedikit pun wajah sedihnya terlihat di air mukanya yang begitu ayu nan manis. Semuanya seakan tertutupi dengan sempurna.

“Ibu, percayalah. Arum baik-baik saja sekarang. Arum hanya butuh doa ibu untuk seterusnya, begitupula Arum harus memberikan doa terbaik Arum untuk Ibu selama hayat dikandung badan.” Ujarnya sambil memeluk Ibunya yang setinggi bahunya.

“Kamu kuat ya, Nak. Jadilah wanita yang tangguh. Ibu percaya suatu saat nanti, kamu akan menemukan laki-laki yang tulus mencintaimu.” Balas sang Ibu mengeratkan pelukannya.Air mukanya syahdu.

Arum terharu, entah karena memang hatinya sudah mulai ingin menangis atau memang karena sejak ia memutuskan untuk memendam perasaannya pada Dendi tertahan hingga sekarang air matanya sulit terbendung kembali.

Yang Ibunya tahu, dia dan Dendi sudah begitu cocok. Bahkan Dendi sering bertandang ke rumah sebentar untuk menanyakan perihal pernikahan. Dan parahnya lagi, Ia bertanya hal itu dengan Ibunya Arum. Ibunya senang, tapi Dendi tidak mengerti sebuah aturan yang seharusnya tidak membuat kedua belah pihak merasa diharapkan. Ia harusnya paham, jika ia tidak menginginkan Arum.

Arum tahu hal ini sepele, perasaan yang tak terbalaskan begitu hatinya selalu membahagiakan diri sendiri. Tidak harus menangis hanya karena soal perasaan. Wanita lebih kuat dan tangguh, karenanya lelaki yang ia dapatkan kelak mampu memeluknya jauh lebih erat ketika ia menangis. Dalam hal apapun itu, entah senang maupun duka. Tapi, apa yang dikatakan ibunya memang benar. Sangat benar, jika ada barometer kejujuran mungkin akan tepat seratus persen.

Ia dan hatinya sendiri, lebih daripada itu. Penyesalan dan rasa sakit yang sulit untuk diungkapkan.

“Aku banyak terima kasih kepadamu, Rum. Besok aku dan keluargaku akan bersilaturahmi ke rumah Wulan untuk meminangnya.” Ujar Dendi sore itu Arum terhenyak, seperti tersambar petir di siang bolong.

Jadi untuk apa kedekatan selama ini, Den?—

Share
Tweet
Pin
Share
No comments

About me

About Me

Halo, aku Zuha. Selamat datang di blog pribadiku yang berisi pengalaman dan segala bentuk tulisan yang mungkin akan membuatmu gembira. Suka langit yang mendung, es kopi dan jalan-jalan. Selamat membaca^^. Drop me a hello at : zfarhanani@gmail.com

Mari Berteman!

  • instagram
  • tumblr
  • twitter

Postingan Terbaruku

Label

beauty blog competition cerita cerpen film hand lettering hobby jalan-jalan opini pengalaman pertanian review soil tips young researcher

Blog Archive

Total PV

Popular Post

  • Menunggu dalam Penantian Entah Karir atau pun Percintaan | Random yang sangat random...
    Ciattt... I want to talk about something I found every day in my life. This so sucks, but we never know it. Sometimes we have a reason to re...
  • REVIEW : EIEM BEAUTY | Water Bank Moisture Gel
      Memiliki jenis kulit wajah yang normal - kombinasi terkadang sedikit butuh kejelian dan trick supaya menggunakan produk perawatan kulit ti...
  • REVIEW : BIORE UV SPF 50/PA+++ | Fresh and Bright
    Bagiku saat ini penggunaan tabir surya tidak bisa dipisahkan dari kehidupan sehari-hari. Saking pentingnya, apabila memulai hari dan belum m...

Created with by ThemeXpose